Sabtu, 29 September 2007 |
SAJAK-SAJAK DIEN ZHURINDAH (TOPENG) |
Sumber : Riau Pos, 30 September 2007
TOPENG
1. Dahulu engkau pernah berdongeng tentang wajah-wajah topeng yang bertubuh koreng dan berjiwa rombeng
Pernah juga kita berjalan-jalan menyusuri bawah jembatan dan engkau katakan: ”di sinilah makna kehidupan lalu-lalang orang-orang kelaparan berkeringat dahulu baru makan”
Sudah lama tak bertemu semoga kita berpapasan di pintu waktu
2. Berkelana aku membawa luka mencarimu di hamparan senja di bawah jembatan, aku buka kenangan tapi jejakmu terhapus hujan aku kehilangan
Ah-ya, kucoba saja mencarimu digemerlap malam yang penuh riuh dengan orang-orang yang benci subuh benarkan, bersua juga akhirnya kusapa, kau seakan lupa lalu kusodori kaca praak, cerminnya retak serpihan wajahmu berserak
Kukira hanya kau, ternyata pendongeng lainnya juga berkeliaran di lingkaran zaman, berbekal topeng-topeng yang di jual obral di sepanjang jalan
Pekanbaru, pagi bisu ‘07
NARASI PAGI
Malam merapat ke pagi Langit memekat bintang pun mati kubuka jendela burung-burung hantu berpesta berebut memagut aroma rangka yang menyebar semerbak mekar kamboja siapakah yang terluka hingga isi langit berbelasungkawa
Nurani diterbangkan bayu pagi mati di kamarku
Pekanbaru, pagi bisu ‘07
BIBIR PUISI : Lelaki
Engkau menggaris pelangi pada bibir tipis berduri aku memasuki negeri mimpi dan terjaga ketika rembulan pamit pergi
Pekanbaru, pagi bisu ‘07
SEKUFU
Kelak, jarak tak lagi mengoyak benak kini kita terbenam di bungkam dendam ketika gulana membangun istana bertahta luka seperti opera yang harus diusaikan segera kita berlomba memanipulasi cerita bermain menjadi marhain mengunyah remah aku berada di kasta bawah
Sekufu… bukankah Tuhan mencipta kita begitu?
Pekanbaru, pagi bisu ‘07
SEMENTARA
Berpisah saja serupa teja dilupa senja tak ada yang abadi dari kita hanya tersisa sebaris nama terukir di nisan penghias pusara
Pekanbaru, pagi bisu ‘07 |
posted by Komunitas Riak Siak @ 23.30  |
|
|
Jumat, 28 September 2007 |
Esai Sobirin Zaini [Kejujuran Berkarya ] |
Sumber: Riau Pos, 23 September 2007 Kejujuran Berkarya dan Mempublikasikan Karya Oleh Sobirin Zaini
Tak dapat dinafikan, jika sebagian penyair menganggap kerja kepenyariran adalah sebuah upaya membaca apapun dengan sepenuh kejujuran. Ketika persoalan atau kondisi lingkungan yang terjadi di sekitar diri penyair adalah sebuah kebusukan, misalnya, maka penyairlah yang akan menuangkannya sebagai sisi kebenaran dalam karyanya yang disebut puisi itu. Mungkin judul yang saya pilih di atas agak membingungkan. Karena pada kenyataannya justru apa pun yang coba ditulis seorang penyair memang adalah upaya untuk mengungkapkan secara jujur dan apa adanya seperti yang saya sebut di atas. Dalam hal ini, tentu, pembaca atau penikmat karya bernama puisi itu dituntut untuk selalu dapat memaknainya secara mendalam dan seksama, sehingga maksud dan pesan yang dituangkan penyair dalam karyanya dapat diterjemahkan ke dalam minda dan perasaan penikmatnya. Kita tahu, media cetak (dalam hal ini koran harian), dalam perkembangannya memang cukup memberi ruang untuk ikut melestarikan tradisi penulisan sastra lewat rutinitas halaman sastranya. Media cetak dalam format dan periode penerbitan lain seperti majalah, tabloid, buletin dan sebagainya juga memberi alternatif yang sama, disamping teknologi internet seperti sejumlah blog dan website yang menjamur di dunia maya. Kondisi ini pada akhirnya memang cukup membuat kita berbangga, karena dari sanalah tradisi penulisan sastra itu tetap berlangsung dan bahkan semakin menampakkan wujud perkembangannya. Tengok saja, tidak hanya "sastrawan-sastrawan tua" dengan publikasi luas karya mereka lewat media-media itu kian saja mengukuhkan eksistensinya, penulis atau sastrawan-sastrawan muda yang mengikuti jejak mereka juga akhirnya ikut dibesarkan dan diperhitungkan kehadirannya. Dan disinilah juga, peran redaktur yang mengurusi seputar tradisi penulisan sastra di media massa (dalam hal ini media cetak) itu mau tidak mau juga harus diperbincangkan. Karena tentu, ketika seorang penulis atau sastrawan mengirimkan karyanya pada sebuah media massa, orang yang pertama sekali membaca dan menyimak karya yang akan dipublikasi adalah redaktur sastra itu sendiri. Sehingga secara tak langsung, redakturlah yang mewakili masyarakat pembaca atau penikmat karya sastra itu sebelum jatuh ke tangan mereka. Dan disinilah kemudian, sejauhmana objektivitas penilaian redaktur terhadap karya sastra yang dipublikasikan juga kadang dipertanyakan, meski akhirnya yang menilai adalah pembacanya sendiri. Maka sangat mungkin, jika ternyata, karya yang telah dipilih dan dipublikasi itu belum tentu terbaik menurut pembaca dan penikmat sastra. Mungkin kita harus sepakat, jika ini bagaimanapun adalah sebuah otoritas redaktur yang dipercaya oleh jajaran redaksi medianya untuk membuat keputusan pada publikasi karya-karya itu. Sebagian penulis pun menganggap menulis dan berkarya itu sudah menjadi tugasnya, persoalan apakah akan dipublikasi atau tidak di satu media, itu bisa saja dipikirkan kemudian. Namun saya yakin, itu hanya di bibir saja, di hati kecilnya ia pasti berharap juga pada publikasi karyanya. Sampai ia kemudian harus pasrah dan "kalah sesaat" ketika ternyata redaktur sastra memutuskan untuk tidak memuat karyanya itu. Yang menjadi persoalan di sini––sesuai dengan maksud dari judul di atas---adalah bagaimana jika karya seorang penulis atau sastrawan itu terkesan sebagai sebuah upaya "mengelabui" pembacanya sehingga pembaca karyanya itu akhirya kecewa? Inilah yang sempat merisaukan saya ketika beberapa waktu lalu mendapatkan itu di sebuah media cetak (koran harian) yang cukup luas pembacanya dan selama ini dianggap mampu membantu memasyarakatkan tradisi penulisan itu. Secara tak sengaja (meski sebelumnya memang sengaja), saya membaca sebuah karya puisi yang sama dari seorang penyair yang disuguhkan pada edisi berbeda, namun telah dirubah dan coba dikoreksi oleh penyairnya sendiri. Judul puisi yang diterbitkan itu sama, tapi beberapa larik yang ada sudah bertambah dan berubah letaknya. Saya tidak tahu, apakah ini sebuah kesengajaan redakturnya sehingga puisi yang sama itu bisa dipublikasi dua kali meski pada edisi berbeda. Sementara tanda-tanda yang mengisyaratkan kesengajaan redaktur itu tidak ada. Apakah puisi yang terkesan tak selesai itu lebih penting dari setumpuk karya-karya dari sejumlah penulis atau sastrawan lain? Apakah ini adalah sesuatu hal yang wajar di dunia penulisan sastra koran kita? Sekali lagi, saya memang tidak dapat menjawab ini secara pasti. Karena saya juga bukan krtitikus sastra yang tahu bagaimana layaknya sebuah karya puisi yang proporsional itu. Hanya saja, hal ini tentu telah membuat penulis atau sastrawan lain yang kebetulan menunggu (karena mungkin kebetulan juga mengirimkan karyanya ke media itu) kecewa. Penikmat dan peminat karya sastra juga jadi bertanya-tanya, kenapa karya itu dimuat kembali tanpa ada catatan dari redaksi? Sementara kita tahu, periode penerbitan dua atau tiga bulan, belum tentu mampu menghapus memori mereka (pembaca) tentang apa yang pernah dibaca dan dinikmatinya. Apalagi kemudian mereka ternyata sempat mengkliping karya-karya itu. Disinilah, lagi-lagi, tanggung jawab seorang redaktur dipertanyakan kembali. Karena saya khawatir, ini adalah dampak kurangnya kejelian dan kecuaiannya, sehingga membuat media cetak bersangkutan terkesan sebagai tempat publikasi karya yang tergesa dari penyair yang coba mengelabui itu. Saya tahu, koreksi dan revisi karya memang sesuatu hal yang wajar bagi penulis atau sastrawan sendiri, tapi apakah pembaca mau menerima hal ini jika koreksi dan revisi karya yang sama itu dimuat berkali-kali? Karena pembaca sastra di sebuah media cetak (koran harian) tentu, selalu menginginkan karya-karya terbaru dan lebih bermutu. Sekali lagi, saya memang tidak menafikan bahwa koreksi dan penyuntingan kembali pada sebuah karya sastra oleh pengarangya adalah sesuatu hal yang wajar. Namun pertanyaannya, apakah redaktur sastra di sebuah media (koran harian) dapat memberi perlakuan yang sama untuk semua penulis atau sastrawan lain yang juga mengirimkan karyanya? Mungkin, saya pikir, ada baiknya, koreksi dan penyuntingan itu dilakukan secara intens sebelum karya tersebut dipublikasikan. Atau jika memang karya yang telah direvisi itu ingin dimuat kembali, redaktur paling tidak membuat catatan kecil yang menjelaskan itu. Dan hal ini dapat dilakukan tentu, jika redaktur sastranya sendiri mau membuka diri untuk berkomunikasi dan berdiskusi, minimal memberikan konfirmasi tentang "nasib" karya yang pernah dikirimkan penulis atau sastrawan ke medianya. Saya khawatir, ini adalah persoalan sepele yang tidak begitu perlu dibesar-besarkan, namun saya pikir ini tidaklah perlu terjadi. Karena sekali lagi saya juga paham, kalau penyair yang coba "mengelabui" itu adalah penyair pemula––untuk tidak mau menyebut muda seperti saya––yang masih mencari-cari identitas karya lewat gaya pengucapan, eksplorasi bahasa, dan lainnya. Namun begitu, garisbawahilah bahwa kerja kepenyairan seperti yang saya sebut di awal tulisan ini adalah sebuah pekerjaan membaca apapun dengan sebuah kejujuran. Jika pekerjaan ini dalam prosesnya ternyata tidak dilakukan dengan kejujuran, bagaimana kita bisa menawarkan kejujuran-kejujuran itu? Penciptaan karya sastra, seperti juga penciptaan karya seni lainnya, kita semua tahu, memang memerlukan sebuah proses dan perenungan-perenungan yang dalam. Seperti yang pernah dikatakan Chairil Anwar ––yang saya kutip sebagian di sini––dalam sebuah prosanya; "kita mesti menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu baru mengumpulsatukan." Penulis atau sastrawan selayaknya memang harus "memeram" beberapa waktu untuk ia sendiri akui kehadiran dan wujud sebuah karyanya. Ia juga dituntut untuk mengoreksi dan merevisi secara intens sebelum terlanjur dipublikasi dan sampai ke tangan pembaca.*** |
posted by Komunitas Riak Siak @ 07.56  |
|
|
|
Sajak-sajak Sobirin Zaini [Suatu Malam Engkau Bertanya] |
Sumber: Riau Mandiri, 23 September 2007 SUATU MALAM, KAU BERTANYA Suatu malam, kau bertanya, di mana tuhan? kutunjukkan pada sebuah langit yang gelap, ketika matahari hanya sebuah titik dan kubentangkan sajadah lalu kuajarkan kau sujud di situ tuhan. Tidak, jawabmu, tuhan ada di sini di hatiku yang linglung mencari rambu-rambu seperti linglung burung-burung mencari mangsanya di tengah hutan belantara seperti ombak, kau susunkan kalimat zikir hingga berbaris menuju sebuah muara suatu waktu, tuhan di sana tidak jawabku, tuhan ada di mana-mana Dan sesungguhnya, kau percayalah syahadah sudah lama berlidah dalam mulutmu iman berkarat dalam jantungmu tapi benda-benda dan waktu yang mengarahkanmu pada surga semu itu juga sederet nama-nama dan gelar dari ritual-ritual itu di sebuah kampung yang luka setelah perang mencari kekuasaan itulah tuhan, katamu ya, tentu, aku setuju, jika ini hanya sebuah percakapan tapi setan menyesatkanmu karena selalu ada di kepalamu Suatu malam, kau bertanya, di mana tuhan? jawabku, tuhan ada di hati kita maka sujudlah dengan sepenuh makna 2007 KABUT SUBUH //1 Tak ada puisi seindah doa-doa yang terucap ketika kabut subuh mulai mencair desah suaramu di ujung sana seperti api yang kupendam jauh di dasar mimpi titik aku menemukan diri sendiri setelah kehilangan hadir matahari jelang pagi dan puisi yang sebenarnya kau ucapkan itu doa-doaku sebelum waktu benar membunuhku //2 Engkaukah bunga yang kusemai itu? kupetik suatu waktu ketika takdir menentukan begitu dan tak menentu di hatiku atau hanya akan layu kutingggal lagi tak berakar lalu terkubur dalam tanah yang paling dasar kalau begitu, inikah takdir dan garis tangan itu? aku bukan kumbang yang akan menemanimu sepanjang mekar kelopakmu //3 Tunggulah kematianku, kepergianku dalam catatan langkah perjalanan ini sepanjang ini untuk berat kuucap selamat tinggal selamat tinggal
2007 |
posted by Komunitas Riak Siak @ 07.54  |
|
|
|
Sajak-sajak M Badri [Elegi Para Petani] |
Sumber: Majalah Sagang, September 2007 ELEGI PARA PETANI kepada matahari, juga burung-burung kucangkulkan imaji di bukit-bukit, sungai, dan ngarai. ladang-ladang begitu sunyi menunggui ilalang dan kemarau menyanyikan puisi kidung musim panen di pematang seperti suara detak jam yang membisikiku jalan pulang
sebatang kalimat, mulai bertunas dan menggeliat gabah melepuh di gudang-gudang, setelah kapal dagang menaburkan beras dari negara tetangga yang menggarami sawah-sawah melukai lambung petani di kampungnya yang kerontang anak-anak mengairi kata-kata di balik tumpukan jerami, rerimbun masa depan yang menjelma sedu sedan, sebab musim hujan menenggelamkan harapan-harapan bangku sekolah, dinding-dinding kemelaratan sampai roda pedati menjadi begitu menyayat bulan basah oleh keringat, berhulu di bukit tempat petani menabuh gendang dan kembang kemiskinan di sawah-sawah yang ditumbuhi elegi juga cerita tentang gubuk-gubuk renta, beratap gulma akhirnya puisi juga yang tumbuh dan menguning hingga musim panen tiba, musim orang-orang memetik airmata di pematang dan ladang-ladang pembantaian yang memenggal rencana dan impian
Bogor, 2006
BUKIT BATU dari lembah aku melihat tubuhmu dikerumuni pepohonan dengan akar-akarnya yang menancap di jurang kecantikan tak ada retakan, apalagi reruntuhan yang menggelinding serupa jerawat dan siulan burung-burung semakin menyembulkan dua biji mahkota yang tumbuh setiap matahari terbenam. setiap makan malam menghidangkan secangkir ciuman paling dalam sampai menyisakan kenangan di langit dan jalan setapak yang menuntunku ke jurang paling apak sebuah tingkungan, tanpa tanda dan rerambu menebarkan aroma tubuhmu: kembang kenanga dan hasrat purba di kilometer-kilometer yang kulalui dengan puisi paling sunyi. hingga nafas keheningan menjadi deru angin menghantarkan sorot matamu ke lembah-lembah tempatku mengabadikan resah. hingga musim hujan semakin menenggelamkan wajahmu ke celah bebatuan aku akan kembali menemukan dirimu, sendirian ribuan tahun kemudian, setelah bereinkarnasi menjadi burung-burung yang memagut serpihan masa lalu. aku tahu, kau pasti akan menenggelamkan paruhku di celah-celah bukit itu, sambil menagih janji yang terlanjur terucap seperti sumpah para datu
Bogor, 2006 JALAN PANJANG kulihat sorot matamu lebih redup dari lampu-lampu yang berjajar menuju hulu seperti sebuah lukisan panjang. terpajang di bantaran sungai, tempat gadis-gadis metropolis mandi sambil menanggalkan selendang di tiang-tiang listrik berharap jaka tarub mencurinya, hingga lupa jalan pulang ke negeri mimpi yang berjarak dua tikungan dari pos ronda. tiba-tiba aku ingin mengabadikan malam dalam telepon genggam, dalam ruang paling dalam. tak perlu lagi mencurigai desir angin. atau mentertawai jejak kaki yang terlanjur membekas di perempatan jalan, tempat engkau biasa menungguku sambil menyumpahi segelas kopi. setiap pagi, setiap aku menjanjikan puisi dan menyeruput madu yang meleleh dari pori-pori tubuhmu sebelum kalender dengan angka-angka ganjil itu luruh terbawa musim dingin yang membalut separuh wajahmu di sebuah tanah lapang, yang memutar dan memanjang debu-debu mengemasi ingatanmu: tentang kampung halaman, musim banjir juga aroma nostalgia sepanjang trotoar yang ditumbuhi penjual jagung bakar sampai dering telepon menjadi sepi. seperti suara hujan di halaman pertama kisah cinta yang tertunda. tanpa ikatan dan rencana-rencana yang selalu memenjarakan setiap impian jemarimu meremang, mengikuti irama tanjakan dan sorot matamu membentur tebing-tebing penuh lukisan dari asap pembakaran yang tersusun dengan rapi. serapi aku merahasiakan setiap pertemuan hingga jalan panjang itu hanya menyisakan jelaga yang tersangkut di tikungan tempat kau terakhir membakar sapu tangan
Bandung, 2006 PEREMPUAN YANG MENCINTAI LAUT : erf dermaga 1 bidukmu terapung di celah senja yang merona antara percikan ombak dan dayung, mengitari semenanjung menembus angin pesisir di pulau-pulau anyir oleh aroma ikan, wangi kehidupan ah geliat tubuhmu serupa duyung berenang ke tepian menjemput cintamu yang tertambat di pelabuhan dermaga 2 kepada karang kau bercerita tentang kehidupan di laut yang membiru oleh ikan-ikan dan terumbu warna jala dan kemilau nelayan menggarami petang dan di pesisir, anak-anak itu, menyusu pada asin perahu yang berlayar dari pulau ke pulau, sampai ke laut paling dalam menebar masa depan dan impian dermaga 3 jangan menangis, katamu sebab air mata akan menenggelamkan separuh daratan menghapus isyarat cinta yang terukir di atas pasir bermekaran sepanjang pantai, sampai ke ujung palung dan di lautmu, aku mencoba memahami bahasa ombak membaca kilau mutiara di dasarnya
Bogor, 2007 RAHASIA HUTAN aku semakin terperangkap dalam aromamu yang berguguran di musim kemarau terjerembab di mulut anggau, perut begu membunuh purnama di semak-semak yang terserak di bukit kering aku mulai menandai masa kecil yang hijau, serupa daun-daun dan onak melilit tubuhku dengan hangat sepanjang siang. sampai raungan gergaji meninabobokan semua orang angin tiba-tiba meniupkan luka yang bersarang di pucuk pepohonan menyimpan dendam dan nujuman di rawa-rawa, gubuk-gubuk renta, hingga jalan setapak menuju muara tempat menghanyutkan semua balak anyir masa lalu menjelma kabut setiap pergantian musim membakar almanak serupa tungku tua di tanah lapang, memanggang semua nasib dan impian. hingga membumbung tinggi menjauh, jauh sekali... Bogor, 2007 |
posted by Komunitas Riak Siak @ 07.49  |
|
|
Minggu, 23 September 2007 |
Sajak-sajak Dien Zhurindah [Adakah] |
Sumber: Riau Mandiri, 02 September 2007 ADAKAH
Adakah Engkau hadirkan mentari ketika rinai hujan menidurkan egoku dan aku terbangun duluan sebelum Engkau menitipkan pada bayu untuk menerbangkan imajiku dimana Engkau tempatkan istana megah-Mu sedangkan pondokku telah dihiasi pucuk-pucuk ilalang yang menumpuk di kaki kayuku yang melapuk
Adakah Engkau hadirkan bintang ketika aku tak lagi memimpikan bulan dan aku terjaga duluan sebelum Engkau menitipkan pada bayu untuk menerbangkan imajiku dimana Engkau letakkan purnama-Mu sedangkan pondokku hanya dihiasi kegelapan karena pelita telah enggan jadi pajangan
Adakah Engkau hadirkan mentari adakah Engkau hadirkan bintang adakah? sedangkan aku ingin hanya Engkau yang menguasai imajiku Pekanbaru, pagi bisu ‘07
KEHILANGAN
Pecah lagi gelisah ketika wajah pengusung seribu tingkah yang pernah singgah bergegas menyusun langkah kubuang sajakah sepasang sepatu yang sengaja kau tinggalkan di depan pintu atau kubiarkan saja di situ berdebu digauli zaman dan waktu
Terkadang pagi aku masih saja menyeduh kopi dari cangkir yang menjelma menjadi bibir ah, aku menghela nafasmu yang khas aroma cerutu tergesa aku menuju pintu sepasang sepatu pada posisi lalu usang dan berdebu
Kunikmati rumah sepi penghuni hanya ditemani sepasang sepatu tanpa kaki barangkali, kini aku kehilangan makna lelaki
Pekanbaru, pagi bisu ‘07
WAJAH
Belajar melukis, aku hanya mampu mencipta garis-garis padahal aku ingin menggambar wajahmu memberi rona pada lekuk yang sempurna hingga kanvas usang bernilai dan indah dipandang
Terkantuk-kantuk, tapi aku harus terus duduk detik-detik kutahan, agar pelan-pelan berjalan lukisan ini masih setengah badan padahal ulang tahunmu bulan depan Akhirnya lukisan wajahmu selesai juga agar utuh kutambahi tubuh sebentar, aku harus menukar warna latar ku ingat, kau berkhianat pada hitam pekat dan memilih mendidihkan putih
Wah… ulang tahunmu meriah sebagai hadiah kuberi lukisan wajah ah maaf, wajahmu salah aku tak teliti telah menggambar wajahku sendiri Janganlah marah, bukankah kita biasa bertukar wajah? Pekanbaru, pagi bisu ‘07 |
posted by Komunitas Riak Siak @ 01.05  |
|
|
Kamis, 20 September 2007 |
Sajak Tamu [Romi Zarman, Padang] |
bunga gelas berharap pada kelopak tapi kau gugurkan bunga. apa yang kau petik itu yang kau tanam. kumpulkan tiup kumpulkan peniup. kau dengar tanda tinggal rasa dalam dada. dalam kelopak, adakah yang sama dengan ia selain usia? berharap pada daun tapi kau patahkan tampuk. apa yang kau gapai itu yang kau tuai. kumpulkan kulit kumpulkan pengulit. kau lihat kata tinggal dusta dalam rupa. dalam daun, adakah tahun yang sama menyimpan sari yang sama? berharap pada sari tapi kau belah biji. apa yang kau genggam itu yang kau pendam. kumpulkan lirih kumpulkan pelirih. kau rasa kaca tinggal cahaya dalam suara. dalam sari, adakah yang tumbuh menunas di sana? ah, bunga. dalam gelas batang terkurung cabang lepas (2007)
Baca Selengkapnya...
|
posted by Komunitas Riak Siak @ 23.41  |
|
|
Kamis, 06 September 2007 |
Sajak-sajak Sobirin Zaini [Sengak Tanahmu] |
Sumber: Majalah Sagang, September 2007
Sengak Tanahmu [1] Seperempat malam, sebelum kusadapkan rindu pada sebuah mimpi buruk tentang angin masa lalu, bau kelambu, karat tempayan dan remah bunga senduduk, telah kugenapkan jarak itu pada bulir-bulir pahit yang tergenang di matamu. Aku bergumam sepanjang malam karena aku durhaka, tak pernah menyisipkan kabar lewat doa-doa yang tak jelas ujungnya. Aku tahu, ini sebuah hikayat tentang biduk yang terbakar, tentang tenggelamnya perahu kertas yang kurangkai di lembah itu. Ketika kulihat bulan masih sabit, dan langit masih menggumpalkan awan dari sudut ke sudut yang lain. Tapi, bukankah sengak tanahmu itu juga yang memaksaku berlutut, lalu mengabutkan mataku dengan bulir-bulir batu waktu dari ujung lambungku? Cerita ini takkan pernah selesai. Jika hujan tetap mengkabarkan jua tentang harapan dan luka di jantungmu. Mungkin lebih baik aku pergi, dari tanah yang tak pernah kita petakan sebelumnya ini. Karena garis tangan begitu kentara, lukiskan kecemasan dan keruh arah perjalanan itu sendiri. Aku memang selalu tak tahu pasti! Pekanbaru, 2007 Sengak Tanahmu [2] Bermula dari sebuah percakapan. Aku berdiam dalam dendam dan meluruskan kaki di gubuk ini. Setakat begitu, namun tetaplah hamparan tanah dan rambut putihmu jua yang membayang. Ini renyah waktu dan gemulai dedaun rindu yang menggodamu. Ikatlah, pada pergelangan tangan tepat di detak nadimu, kau kuharapkan kembali dengan seribu perahu dan peta yang jelas, bukan barisan cerita dari sejumlah sobekan kertas. Di lain waktu, aku tahu, kau memang menunggu. Tapi bukankah waktu tetap sembilu yang kian menusukku? Pekanbaru, 2007 Sengak Tanahmu [3] Dan dengarlah, dengar dengan seluruh kemampuanmu mendengar; gemuruh sesayup angin yang lepas dari napasku. Buih-buih masa lalu membeku jadi batu. Dan batu meremukkan jantungku! Simaklah, simak dengan seluruh kemampuanmu menyimak, bahwa sebaris saja cerita dari malamku yang hampa, adalah butir keringatku mengapus catatan dosa-dosa. Dan maafkanlah, jika aku terpaksa jua meneriakkan satu saja keputus-asaan itu: aku kalah! Aku kalah!* Pekanbaru, 2007 *Sepenggal sajak Iyut Fitra Sengak Tanahmu [4] Tumpang tindih dan berkait-kelindanlah segalanya. Ada luka, hujan tak terduga, tawa hampa. Di sini, di tanah para boneka, aku kian memilih diam. Atau bicara dengan bahasa kelelawar, burung lelayang, ilalang tua. Lalu berjalan telusuri malam dengan arah yang tak pernah terbaca. Tak pernah. Karena sekali lagi, menundukkan pedang dalam sebuah peperangan waktu, aku butuh serdadu, atau hulubalang yang tangguh memegang gagang kerismu. Tapi, semua hanya cerita. Cerita tentang Dedap atau Terubuk setelah kita habis membakar tempurung dan anyaman tikar yang belum usai. Di tanah yang selalu terburai dengan pantainya yang tak lagi landai. Pekanbaru, 2007 |
posted by Komunitas Riak Siak @ 02.26  |
|
|
Selasa, 04 September 2007 |
Esai M Badri (Komunitas Sastra) |
Sumber: Riau Pos, 2 September 2007
Komunitas Sastra: Antara Mobilisasi Karya dan Mobilisasi Massa
Oleh M Badri Pertumbuhan komunitas sastra merupakan fenomena menarik untuk melihat perkembangan minat masyarakat terhadap sastra. Meskipun tanpa komunitas, sebenarnya sastrawan juga dapat berkembang. Tapi mengambil filosofi “sapu lidi”, dengan berkomunitas para peminat dan pegiat sastra dapat memperkuat individu, proses, dan karyanya. Sebab banyak hal didapat dari komunitas yang iklim di dalamnya cukup sehat untuk berkreativitas. Tanpa kepentingan-kepentingan tertentu selain bersastra (menulis, diskusi, apresiasi). Ketika membaca beberapa tulisan, kadang juga mengamati langsung, saya melihat masih banyak yang belum memahami esensi dari sebuah komunitas. Meskipun komunitas adalah sekumpulan orang-orang, bukan berarti komunitas sastra merupakan ajang pengumpulan orang sebanyak-banyaknya dalam sebuah lingkaran kata: sastra, penulis, pena, dan sebagainya. Terlebih bila pengumpulan orang-orang tanpa melihat motif dan tujuan berkomunitas, apakah ingin berproses kreatif, sekadar meramaikan, atau menebar kepentingan (tertentu).
Apa arti sebuah komunitas sastra, bila orang-orang di dalamnya kebanyakan tidak mempunyai motivasi untuk berkarya? Saya memandang ini lebih kepada makna berkomunitas. Sebab hasil akhir dari para peminat sastra (terutama penulis pemula) adalah menghasilkan karya, bukan sekadar seremonial belaka. Bila sebuah komunitas sastra tak mampu menunjukkan karyanya, komunitas tersebut tak lebih dari mobilisasi massa.
Dalam pandangan saya, penggambaran tentang komunitas sastra bisa sangat sederhana, misalnya beberapa orang berkumpul pada suatu siang di galeri buku, atau suatu malam di bawah kolong jembatan. Dengan beberapa gelas kopi dan sebungkus rokok ––bungkusan gorengan juga barangkali. Membawa beragam ide dan pikiran untuk didiskusikan atau ditumpahkan. Bisa juga sangat wah, seperti di sebuah ruangan hotel dengan suasana yang serba mewah. Anggotanya juga mencapai puluhan orang dengan beragam latar belakang dan motif berkomunitas yang dibawa masing-masing individu.
Dari beberapa kali berkomunikasi dengan rekan-rekan penulis yang berkomunitas, saya kemudian memandang komunitas menjadi lebih simpel lagi: mengobrol dan menulis. Kadang hanya di kamar sempit berbau apak, di warung kopi sederhana, di toko buku kecil, di ruang maya, juga di ruang terbuka dan selalu berpindah-pindah. Tetapi para pegiatnya menampakkan eksistensinya, dengan menampilkan karya kreatifnya di sejumlah media massa. Menunjukkan kemampuannya melalui berbagai sayembara.
Namun bagaimanapun bentuknya, tentunya komunitas sastra merupakan sekumpulan orang yang tahu (atau ingin tahu) tentang sastra dengan melibatkan diri pada berbagai aktivitas sastra. Banyak aktivitas yang bisa dilakukan oleh pegiat komunitas sastra, dari diskusi ringan sampai perdebatan sengit tentang kesusastraan. Kadang hanya sekadar menggosip tentang individu-individu sastrawan atau menjadi ajang “pengujian” karya sebelum dikirimkan ke media massa, untuk mendapat pengakuan publik melalui perantara redaktur budaya.
Di sinilah kemudian muncul pertanyaan sederhana tadi, apakah komunitas sastra merupakan forum untuk memobilisasi karya atau memobilisasi massa? Kalau saya berpendapat, tidak ada yang lebih penting dari sebuah komunitas sastra selain memobilisasi karya dengan menulis dan menghasilkan karya-karya kreatif. Sedangkan mobilisasi massa, biarlah itu dilakukan ormas-ormas yang jumlahnya tentu jauh lebih banyak dari jumlah komunitas sastra. Tapi kalau kedua-duanya bisa digabungkan tentu suatu prestasi tersendiri ––atau masalah sendiri. Sebagai gambaran, misalnya sebuah komunitas penulis di suatu tempat jumlah pengurusnya diasumsikan sepuluh persen dari jumlah anggota. Bisa dibayangkan bila jumlah pengurusnya saja mencapai puluhan orang, berapa banyak karya yang dihasilkan (seandainya motifnya untuk berkarya) para anggotanya.
Keberadaan komunitas sastra memang sangat berpengaruh terhadap proses kreatif anggotanya. Karena biasanya dalam komunitas terjadi persinggungan kreatif, saling belajar, saling kritik dan sebagainya. Melalui proses tersebut kemudian akan lahir karya-karya yang bernas, penulis yang diperhitungkan, dan lebih penting lagi tetap terjaganya gairah untuk berkarya. Tetapi, kadang keberadaan komunitas sastra hanya menguntungkan individu-individu tertentu, tokoh-tokoh tertentu, semisal ketuanya atau donaturnya. Kalau yang terakhir ini, sebuah komunitas cenderung menjadi “alat” orang-orang yang berkepentingan, bukan menjadi “forum” bersama untuk berproses kreatif.
Karena komunitas sastra tidak sama dengan ormas, tentunya tujuan dari komunitas sastra adalah bagaimana sukses bersama dalam berkarya. Sehingga publik sastra tidak teracuni oleh ideologi-ideologi tertentu di luar konteks sastra yang membawa bendera sastra. Sebab dalam sastra sendiri telah terjadi kecenderungan pengkotak-kotakan, antara moralis dan liberalis, kanan dan kiri, dan sebagainya. Hal itu menyebabkan timbulnya sekat-sekat, pertentangan yang mengarah pada permusuhan, bukan malah memunculkan perdebatan yang sehat untuk menemukan muara sastra yang universal. Apa jadinya bila kepentingan di luar sastra (terlebih tidak memahami sastra) turut ambil bagian dalam polemik tersebut.
Esensi Komunitas
Kalau ditanya apakah yang dibutuhkan publik sastra dari komunitas, jumlah karya atau anggotanya? Saya yakin, dengan akal sehat, semua akan sepakat karya lebih penting dari orang-orangnya. Bahkan seringkali publik mengenal karyanya daripada penulisnya. Itulah realitas dari dunia tulis-menulis, dunia sastra dengan segala warnanya. Bahwa tidak ada yang lebih penting dari karya. Hal ini juga diakui oleh sastrawan sekaliber Joni Ariadinata beberapa waktu lalu, dalam suatu perbincangan sastra di Pekanbaru. Pengakuan legalitas organisasi (seperti SK dan atribut) tidak penting bagi penulis, tetapi yang penting karya apa yang telah dihasilkan. Itulah perbedaan komunitas penulis dengan ormas.
Kesuksesan komunitas juga tidak ditentukan oleh figur tokohnya, nama besar organisasinya, terlebih kekuatan dananya. Sehingga pandangan tentang pentingnya faktor sastrawan seniornya, penyandang dana, campur tangan pemerintah, kemampuan lobi untuk menyukseskan acara seremonial, dalam sebuah komunitas hanyalah pemikiran sempit (juga picik). Dalam publik sastra yang menjadi ukuran keberhasilan adalah kualitas karya yang dihasilkan anggota komunitasnya.
Di sini yang sering dilupakan adalah bahwa keberhasilan aktivitas kesastraan tergantung bagaimana masing-masing pribadi berproses kreatif untuk menghasilkan karya. Keberadaan komunitas hanya faktor pendukung dan penyemangat untuk terus berkarya. Sehingga percuma saja menempel di depan kebesaran nama komunitas kalau tidak berbuat apa-apa, tidak menghasilkan karya. Hanya pesta dan hura-hura. Sebab nama besar komunitas bukan menjadi jaminan kualitas karya anggotanya.
Dalam beberapa kali diskusi kadang saya heran terhadap sikap beberapa pegiat komunitas ––terutama pemula. Baru satu atau dua kali menulis sudah bisa mengukur kualitas karyanya ––tentunya dari sudut pandang pribadi dengan memakai jubah besar nama komunitas. Sehingga menggugat redaktur sastra koran atau majalah, kenapa tidak memuat karya-karyanya. Penilaian-penilaian individu seperti ini sebenarnya sah-sah saja, sepanjang untuk evaluasi terhadap karya yang telah dibuat. Bukan justru menjustifikasi bahwa karya yang telah dihasilkan sudah “luar biasa” sehingga wajib disiarkan kepada publik. Gugatan-gugatan narsisme seperti ini sebenarnya tidak perlu muncul seandainya penulis mau berkaca dengan membaca karya-karya penulis yang benar-benar luar biasa, lalu mengevaluasi karya sendiri. Bukan malah “buruk muka cermin dibelah”.
Masalah lain yang kadang timbul dalam komunitas sastra adalah munculnya virus epigon pada penulis pemula. Kecenderungan “mendewakan” sang senior atau sang guru menyebabkan keseragaman gaya penulisan. Dalam jangka pendek wajar bila murid menirukan gurunya, namun bila berkesinambungan dan menjadi indoktrinasi saya kira membawa masalah. Calon penulis tidak memiliki kebebasan menampilkan gaya atau tidak berani memunculkan karakter kepenulisannya. Inilah bila komunitas menjadi tempurung bagi katak kreativitas, bukan menjadi sungai yang mengalirkan kreativitas. Maka komunitas hanya akan kontraproduktif dan memandulkan proses kreatif anggotanya.
Esensi penting dalam berkomunitas adalah bagaimana individu-individu yang akan berkelompok membawa idealisme dan semangat masing-masing. Sebab komunitas hanya wahana untuk berkreasi, berinteraksi dan berekspresi. Dengan semangat dan idealisme, para pemula tidak terjebak pada bayang-bayang kebesaran komunitas, jumlah anggota komunitas, indoktrinasi komunitas, nama besar figur atau batas-batas kreativitas. Sehingga bisa memilih, menjadi idealis atau elitis. Maka pegiat komunitas sastra di Riau, berlomba-lombalah menghasilkan karya, bukan sekadar mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.*** |
posted by Komunitas Riak Siak @ 06.12  |
|
|
|
"riak siak riak kata/ mengalir ke muara karya/ imaji sedalam-dalamnya/ tak surut dilekang usia" |
Logo |

|
Tentang Riak Siak |
|
Menu |
|
Pelabuhan |
|
Dermaga Deklarator |
|
Pesan Tamu |
|
Detak Siak |
|
Penunggu Sungai |
|
***** |
template design by isnaini.com
 |
content design by negeribadri
| |