Sumber: Majalah Sagang, September 2007 ELEGI PARA PETANI kepada matahari, juga burung-burung kucangkulkan imaji di bukit-bukit, sungai, dan ngarai. ladang-ladang begitu sunyi menunggui ilalang dan kemarau menyanyikan puisi kidung musim panen di pematang seperti suara detak jam yang membisikiku jalan pulang
sebatang kalimat, mulai bertunas dan menggeliat gabah melepuh di gudang-gudang, setelah kapal dagang menaburkan beras dari negara tetangga yang menggarami sawah-sawah melukai lambung petani di kampungnya yang kerontang anak-anak mengairi kata-kata di balik tumpukan jerami, rerimbun masa depan yang menjelma sedu sedan, sebab musim hujan menenggelamkan harapan-harapan bangku sekolah, dinding-dinding kemelaratan sampai roda pedati menjadi begitu menyayat bulan basah oleh keringat, berhulu di bukit tempat petani menabuh gendang dan kembang kemiskinan di sawah-sawah yang ditumbuhi elegi juga cerita tentang gubuk-gubuk renta, beratap gulma akhirnya puisi juga yang tumbuh dan menguning hingga musim panen tiba, musim orang-orang memetik airmata di pematang dan ladang-ladang pembantaian yang memenggal rencana dan impian
Bogor, 2006
BUKIT BATU dari lembah aku melihat tubuhmu dikerumuni pepohonan dengan akar-akarnya yang menancap di jurang kecantikan tak ada retakan, apalagi reruntuhan yang menggelinding serupa jerawat dan siulan burung-burung semakin menyembulkan dua biji mahkota yang tumbuh setiap matahari terbenam. setiap makan malam menghidangkan secangkir ciuman paling dalam sampai menyisakan kenangan di langit dan jalan setapak yang menuntunku ke jurang paling apak sebuah tingkungan, tanpa tanda dan rerambu menebarkan aroma tubuhmu: kembang kenanga dan hasrat purba di kilometer-kilometer yang kulalui dengan puisi paling sunyi. hingga nafas keheningan menjadi deru angin menghantarkan sorot matamu ke lembah-lembah tempatku mengabadikan resah. hingga musim hujan semakin menenggelamkan wajahmu ke celah bebatuan aku akan kembali menemukan dirimu, sendirian ribuan tahun kemudian, setelah bereinkarnasi menjadi burung-burung yang memagut serpihan masa lalu. aku tahu, kau pasti akan menenggelamkan paruhku di celah-celah bukit itu, sambil menagih janji yang terlanjur terucap seperti sumpah para datu
Bogor, 2006 JALAN PANJANG kulihat sorot matamu lebih redup dari lampu-lampu yang berjajar menuju hulu seperti sebuah lukisan panjang. terpajang di bantaran sungai, tempat gadis-gadis metropolis mandi sambil menanggalkan selendang di tiang-tiang listrik berharap jaka tarub mencurinya, hingga lupa jalan pulang ke negeri mimpi yang berjarak dua tikungan dari pos ronda. tiba-tiba aku ingin mengabadikan malam dalam telepon genggam, dalam ruang paling dalam. tak perlu lagi mencurigai desir angin. atau mentertawai jejak kaki yang terlanjur membekas di perempatan jalan, tempat engkau biasa menungguku sambil menyumpahi segelas kopi. setiap pagi, setiap aku menjanjikan puisi dan menyeruput madu yang meleleh dari pori-pori tubuhmu sebelum kalender dengan angka-angka ganjil itu luruh terbawa musim dingin yang membalut separuh wajahmu di sebuah tanah lapang, yang memutar dan memanjang debu-debu mengemasi ingatanmu: tentang kampung halaman, musim banjir juga aroma nostalgia sepanjang trotoar yang ditumbuhi penjual jagung bakar sampai dering telepon menjadi sepi. seperti suara hujan di halaman pertama kisah cinta yang tertunda. tanpa ikatan dan rencana-rencana yang selalu memenjarakan setiap impian jemarimu meremang, mengikuti irama tanjakan dan sorot matamu membentur tebing-tebing penuh lukisan dari asap pembakaran yang tersusun dengan rapi. serapi aku merahasiakan setiap pertemuan hingga jalan panjang itu hanya menyisakan jelaga yang tersangkut di tikungan tempat kau terakhir membakar sapu tangan
Bandung, 2006 PEREMPUAN YANG MENCINTAI LAUT : erf dermaga 1 bidukmu terapung di celah senja yang merona antara percikan ombak dan dayung, mengitari semenanjung menembus angin pesisir di pulau-pulau anyir oleh aroma ikan, wangi kehidupan ah geliat tubuhmu serupa duyung berenang ke tepian menjemput cintamu yang tertambat di pelabuhan dermaga 2 kepada karang kau bercerita tentang kehidupan di laut yang membiru oleh ikan-ikan dan terumbu warna jala dan kemilau nelayan menggarami petang dan di pesisir, anak-anak itu, menyusu pada asin perahu yang berlayar dari pulau ke pulau, sampai ke laut paling dalam menebar masa depan dan impian dermaga 3 jangan menangis, katamu sebab air mata akan menenggelamkan separuh daratan menghapus isyarat cinta yang terukir di atas pasir bermekaran sepanjang pantai, sampai ke ujung palung dan di lautmu, aku mencoba memahami bahasa ombak membaca kilau mutiara di dasarnya
Bogor, 2007 RAHASIA HUTAN aku semakin terperangkap dalam aromamu yang berguguran di musim kemarau terjerembab di mulut anggau, perut begu membunuh purnama di semak-semak yang terserak di bukit kering aku mulai menandai masa kecil yang hijau, serupa daun-daun dan onak melilit tubuhku dengan hangat sepanjang siang. sampai raungan gergaji meninabobokan semua orang angin tiba-tiba meniupkan luka yang bersarang di pucuk pepohonan menyimpan dendam dan nujuman di rawa-rawa, gubuk-gubuk renta, hingga jalan setapak menuju muara tempat menghanyutkan semua balak anyir masa lalu menjelma kabut setiap pergantian musim membakar almanak serupa tungku tua di tanah lapang, memanggang semua nasib dan impian. hingga membumbung tinggi menjauh, jauh sekali... Bogor, 2007 |