Rabu, 31 Oktober 2007
Sajak-sajak Sobirin Zaini [Tempayan Kelabu]
Sumber: Batam Pos, Minggu, 28 Oktober 2007

Tempayan Kelabu


Ada asin senja, tanda yang tak selesai di tubuhnya
aku pulang, pada segenap beku ketika pualam-pualam
telah beranak pinak menjilmakan kunang-kunang
sejuk nafasmu memaksaku menuliskan sesuatu
tentang rindu di sebuah wujudmu yang karat itu
sampai aku serasa mimpi, mengigau tak berujung
di tanah ini
Percayalah, kutandai jua lambaian pelepahmu
pada ujung rambutku
sebelum dinihari, dan sungai menelan matahari
usai kampung-kampung hanyut kutambatkan lagi
Entah cerita mana hendak aku hikayatkan
jikalau tak ada lagi suara-suara merdu lidah perindu
dan burung-burung hantu di bebakau itu
kelabu warnamu adalah endapan racau galauku
retak dasarmu jadi reput wajahku di rumah itu
hingga tak habis-habis jua, kulafalkan satu persatu
mengenang riwayatmu meski pecah seribu
Red-Aklamasi, 2007


Ujung Kelambu, Malam Batu

Sejenak saja, sambut aku dengan rentak zapinmu
kakiku kaku jauh sebelum aroma sungaimu adalah darah
kematian harapan-harapan pada matahari di belakang
rumah
“tuan, aku selalu mengigau memang, tapi tanah ini
takkan kubiarkan
hanyut dengan cerita yang tak jelas”
Ya, ada selalu di punggungku
pisau-pisau nyeri sepuluh malam terakhir di kampung itu
menikam bulan setengah wujud seperti yang pernah kutuliskan
aku tahu, tuan, ada batu dan pecahan karang di jantungmu
wujud kematian sejenak setelah ujung kelambu menyentuh kakiku
hingga malam seperti tak bergerak, dan kita cuai tak beranjak
Teriaklah, jangan biarkan aroma itu selalu menyengat
lesatkan sedalam mungkin pada angin
yang membawa kabar tentang hujan
hingga mimpi-mimpi kita yang kian sangsai ini
tak selalu kugenapkan jadi serpihan puisi
Red-Aklamasi, 2007


Meluruskan Angin,
Mematahkan Hujan

-Salawati Fitriah

Pada akhirnya, kita harus meluruskannya jua
pertelingkahan angin yang silang-sengkarut
di rak-rak masa lalu
lalu mematahkan hujan yang lintang-pukang
di sekujur tubuhku yang kian telanjang
Tunggu saja aku di tanah ini
sambut sayapku dengan risaumu
ada remah sajak, noktah masa lalu
dan cerita- cerita tentang bidadari
di sebuah kampung tak bermatahari
saat wajahku terlukis ornamen burung hantu
tunggu aku pada titik waktu
yang tak mau bertumpu itu
Percayalah, selalu saja ada senja di batang sungai
riakmu yang mengalir menjadi arah pelayaran
mengantar perahuku ke dermagamu
meski rentak malam menjadi jembalang
gelombang sialang di petang yang malang
Akh, yakinkan saja, Triah
meluruskan angin yang silang-sengkarut
dan patahan hujan yang lintang-pukang
itu adalah tugasku
sebagai lelakimu
Red-Aklamasi, 2007
posted by Komunitas Riak Siak @ 06.30   0 comments
Jumat, 26 Oktober 2007
Sajak-sajak Syaiful Bahri [kita kemasi cinta yang jatuh]
Sumber: Riau Pos, 21 Oktober 2007


kita kemasi cinta yang jatuh


aku menemukanmu terjatuh dari jembatan

dengan luka airmata di sekujur tubuhmu yang ranum

membangkitkan gelora jantanku untuk memburu berahi bukan

hingga kutemukan lagi sepasang kunangkunang malam

untuk melepas deru dendam pada bulan

saat bintangbintang mampir di sebuah kuburan

memetik bulan dari cecabang kamboja rindang


hei, ada cinta yang kau payungi karena kehujanan

kebasahan seluruh rindu yang belum selesai kita bingkai

kau lepaskan saja singletmu yang bertuliskan namaku

lalu sembunyikan dalam brankas agar terhindar dari debu cemburu

tersebab cinta ini telah usai menemukanmu.


pku\10\’07




cinta: batubatu bisu


duhai puisi, dengarlah, aku akan pergi sebentar

menanggalkan setumpuk renjana

yang bergelora dari file yang tersimpan di benak ini

sejak aku merasa terbuang

karena sembunyikan selembar cintamu

dari ruap rindu yang buncah


dan akan kutinggalkan kesetiaan

untuk mencari makna amarah yang padam

karena engkau terus menghalangi

kumasuki lembah, menikam labirin

sambil memandang cahaya bulan

yang disensor aroma hujan


langit melukis senja dari rona matahari

bintangbintang mati

sepasang bulan pergi

merasuki dendam dari amarahmu

yang terus membatu

jelma ruangruang sempit

menghimpit nasib yang semakin buncit


pku\09\’07\



demam hujan puisi


bulirbulir hujan datang selepas petang sambil membawa kompang dan jembalang untuk menuai badai karena cemburu melepas lentera di sebuah ranjang katakata yang muram yang dipenuhi angin putingbeliung mengitari resah lalu melukis sabit di separuh lehermu yang jenjang.


pku\10\’07\



ada yang terhimpun di bola matamu


ada yang terhimpun di bola matamu

sebentuk dendam sekeranjang asmara

dari amuk kubur batu yang dinyalakan bara cinta

sejak musim gugur jatuh di ujung rambut

mungkin karena kau hirup bunga asmara

yang datang mengabadikan warna bunga

pada segelas anggur di bawah lampu berkedipkedip


maka bebaskanlah ingatan yang kau pasang di kepala

agar cumbu rayu kita terbang bersama angin

menembus lintas batas ruang dan waktu

di ruap tubuhmu yang peka

hingga kita mampu bersamasama

alirkan keinginan sampai kedasa penguasa

berkelindan menghadap pencipta

karena kita sedang membangun selaput asmara


pku\10\’07\




kesucian


aku nyatakan bahwa suci itu benar-benar murni

dari ramadhan yang datang secepat gemuruh

akupun singgah di simpang kebimbangan

meninggalkan noktah pada seratus kisah dalam dongeng

untuk membuka lagi lembaran baru

dengan sejuta makna dari kitabkitab abadi

juga dari mantera yang bergumam setiap mimpi


ini minggu ke tiga dari bulan yang ganjil

mengalirlah kalimat paling taubat sejak pagi

menunggu ampunan turun di bumi

dan membawa sekeranjang dosa itu

untuk ditukar dengan sekantong doa

karena telah lama hanya ada mantera tak bermakna

yang menemani sepanjang senja

juga lelah usia yang semakin renta


pku\’07\

posted by Komunitas Riak Siak @ 23.59   0 comments
Rabu, 03 Oktober 2007
Sajak-sajak Syaiful Bahri [Kesunyian]
Sumber: Riau Mandiri, 16 september 2007

kesunyian [iii]


seperti dalam angkaangka yang selalu tegas
mengartikan makna
entah seberapa kata bermain
dalam penyesalan yang pernah kau sentuh
lalu kau memohon untuk sebuah kejujuran
yang tiada pernah cukup
tidakkah kau sadar
betapa kesunyian bukanlah seseorang yang engkau ingin
maka janganlah mecipta sesal dari kesalahan yang selalu mendera

malam itu sesosok bayangbayang pertegas sejuta najis
meraut cahaya dalam ikatan senja
selepas guguran musim semi paling amis
dan tidakkah semua ini hanya sementara
lihatlah pagi itu kau telan waktu sebulat bulan
gemeretak sunyi lepas dari detikdetik usia
meninggalkan separuh musim yang lamban

“hei, ke mana arah akan diam dalam lupa”

lalu kisah sentimentil terperosok dari kepalamu
berguguranlah ke ujungujung rambut dari akarakar tumbuh
dan melukis daundaun entah mengering dulu
“ciptakanlah sebuah nada dari bunyi serta sunyi batubatu yang salah”

jakarta, 2007


kesunyian [iv]

berdiri di sini adalah menantimu datang
atau menyambut lamatlamat bisikanmu hadir
karena engkau selalu saja memberikan kesunyian
dan aku acapkali menyimpannya dalam saku kerinduan
membiarkan semua ini berjalan
dari pastel ungu
dari selimut awan setebal angan

percakapan itu selalu saja terjadi saat harapan hampir karam
lewat setengah malam atau ketika fajar mengintip malumalu
dan kita merangkai menara sunyi
dari sisa rasa dalam sepi
di puncaknya adalah peluh kita yang mengalir
mungkin nanti akan menjadi langit
atau suara tangis dari rahim kalimat seorang musafir

kukenang juga aroma cintamu
memberikan kekuatan paling abadi
bertubitubi mencambuk keinginan bertemu
karena kesunyian terus saja menghantui

“inikah gedunggedung pencakar sunyi
dari menara paling sepi yang telah mengeras?”

hei, jawablah waktu, jangan kau sembunyi
menghindar dari kenyataan paling pahit
dari sebuah kepasrahan yang tiada arti
telah begitu banyak cara tertempuh
untuk mencari jawaban atas kesunyian ini
maka aku mohon dengan perasaan paling sepi:
jawablah kesunyian

jakarta, 2007



kesunyian [v]


aku melukis mimpi dari cahaya matahari
di sepanjang senja yang membelah jarak ini
serta kisah sepi paling abadi
pun pada separuh rusuk ini
telah hilang kau bawa pergi
dari tubuhtubuh penuh arti

barangkali kesunyian ini adalah cadangan cinta
dari sisa musim semi
dan separuh katakata dengan makna sunyi
telah terucap lewat alunan dawai nadi
yang jatuh dalam perjalanan terhenti
di stasiun kesunyian semua itu hampir sepi

(karena kesunyian adalah dendam paling nyeri)

jakarta, 2007
posted by Komunitas Riak Siak @ 00.31   0 comments
Sabtu, 29 September 2007
SAJAK-SAJAK DIEN ZHURINDAH (TOPENG)

Sumber : Riau Pos, 30 September 2007



TOPENG


1.
Dahulu engkau pernah berdongeng
tentang wajah-wajah topeng
yang bertubuh koreng dan berjiwa rombeng

Pernah juga kita berjalan-jalan
menyusuri bawah jembatan
dan engkau katakan:
”di sinilah makna kehidupan
lalu-lalang orang-orang kelaparan
berkeringat dahulu baru makan”

Sudah lama tak bertemu
semoga kita berpapasan di pintu waktu

2.
Berkelana aku membawa luka
mencarimu di hamparan senja
di bawah jembatan, aku buka kenangan
tapi jejakmu terhapus hujan
aku kehilangan

Ah-ya, kucoba saja mencarimu digemerlap malam
yang penuh riuh dengan orang-orang yang benci subuh
benarkan, bersua juga akhirnya
kusapa, kau seakan lupa
lalu kusodori kaca
praak, cerminnya retak
serpihan wajahmu berserak

Kukira hanya kau, ternyata pendongeng lainnya juga berkeliaran di lingkaran zaman, berbekal topeng-topeng yang di jual obral di sepanjang jalan

Pekanbaru, pagi bisu ‘07




NARASI PAGI


Malam merapat ke pagi
Langit memekat bintang pun mati
kubuka jendela
burung-burung hantu berpesta
berebut memagut aroma rangka
yang menyebar semerbak mekar kamboja
siapakah yang terluka
hingga isi langit berbelasungkawa

Nurani diterbangkan bayu
pagi mati di kamarku

Pekanbaru, pagi bisu ‘07




BIBIR PUISI
: Lelaki

Engkau menggaris pelangi
pada bibir tipis berduri
aku memasuki negeri mimpi
dan terjaga ketika rembulan pamit pergi

Pekanbaru, pagi bisu ‘07




SEKUFU

Kelak, jarak tak lagi mengoyak benak
kini kita terbenam di bungkam dendam
ketika gulana membangun istana bertahta luka
seperti opera yang harus diusaikan segera
kita berlomba memanipulasi cerita
bermain menjadi marhain
mengunyah remah
aku berada di kasta bawah

Sekufu…
bukankah Tuhan mencipta kita begitu?

Pekanbaru, pagi bisu ‘07




SEMENTARA

Berpisah saja
serupa teja dilupa senja
tak ada yang abadi dari kita
hanya tersisa sebaris nama
terukir di nisan penghias pusara

Pekanbaru, pagi bisu ‘07
posted by Komunitas Riak Siak @ 23.30   0 comments
Jumat, 28 September 2007
Esai Sobirin Zaini [Kejujuran Berkarya ]

Sumber: Riau Pos, 23 September 2007

Kejujuran Berkarya
dan Mempublikasikan Karya


Oleh Sobirin Zaini


Tak dapat dinafikan, jika sebagian penyair menganggap kerja kepenyariran adalah sebuah upaya membaca apapun dengan sepenuh kejujuran. Ketika persoalan atau kondisi lingkungan yang terjadi di sekitar diri penyair adalah sebuah kebusukan, misalnya, maka penyairlah yang akan menuangkannya sebagai sisi kebenaran dalam karyanya yang disebut puisi itu.

Mungkin judul yang saya pilih di atas agak membingungkan. Karena pada kenyataannya justru apa pun yang coba ditulis seorang penyair memang adalah upaya untuk mengungkapkan secara jujur dan apa adanya seperti yang saya sebut di atas. Dalam hal ini, tentu, pembaca atau penikmat karya bernama puisi itu dituntut untuk selalu dapat memaknainya secara mendalam dan seksama, sehingga maksud dan pesan yang dituangkan penyair dalam karyanya dapat diterjemahkan ke dalam minda dan perasaan penikmatnya.

Kita tahu, media cetak (dalam hal ini koran harian), dalam perkembangannya memang cukup memberi ruang untuk ikut melestarikan tradisi penulisan sastra lewat rutinitas halaman sastranya. Media cetak dalam format dan periode penerbitan lain seperti majalah, tabloid, buletin dan sebagainya juga memberi alternatif yang sama, disamping teknologi internet seperti sejumlah blog dan website yang menjamur di dunia maya.

Kondisi ini pada akhirnya memang cukup membuat kita berbangga, karena dari sanalah tradisi penulisan sastra itu tetap berlangsung dan bahkan semakin menampakkan wujud perkembangannya. Tengok saja, tidak hanya "sastrawan-sastrawan tua" dengan publikasi luas karya mereka lewat media-media itu kian saja mengukuhkan eksistensinya, penulis atau sastrawan-sastrawan muda yang mengikuti jejak mereka juga akhirnya ikut dibesarkan dan diperhitungkan kehadirannya.

Dan disinilah juga, peran redaktur yang mengurusi seputar tradisi penulisan sastra di media massa (dalam hal ini media cetak) itu mau tidak mau juga harus diperbincangkan. Karena tentu, ketika seorang penulis atau sastrawan mengirimkan karyanya pada sebuah media massa, orang yang pertama sekali membaca dan menyimak karya yang akan dipublikasi adalah redaktur sastra itu sendiri. Sehingga secara tak langsung, redakturlah yang mewakili masyarakat pembaca atau penikmat karya sastra itu sebelum jatuh ke tangan mereka. Dan disinilah kemudian, sejauhmana objektivitas penilaian redaktur terhadap karya sastra yang dipublikasikan juga kadang dipertanyakan, meski akhirnya yang menilai adalah pembacanya sendiri. Maka sangat mungkin, jika ternyata, karya yang telah dipilih dan dipublikasi itu belum tentu terbaik menurut pembaca dan penikmat sastra.

Mungkin kita harus sepakat, jika ini bagaimanapun adalah sebuah otoritas redaktur yang dipercaya oleh jajaran redaksi medianya untuk membuat keputusan pada publikasi karya-karya itu. Sebagian penulis pun menganggap menulis dan berkarya itu sudah menjadi tugasnya, persoalan apakah akan dipublikasi atau tidak di satu media, itu bisa saja dipikirkan kemudian. Namun saya yakin, itu hanya di bibir saja, di hati kecilnya ia pasti berharap juga pada publikasi karyanya. Sampai ia kemudian harus pasrah dan "kalah sesaat" ketika ternyata redaktur sastra memutuskan untuk tidak memuat karyanya itu.

Yang menjadi persoalan di sini––sesuai dengan maksud dari judul di atas---adalah bagaimana jika karya seorang penulis atau sastrawan itu terkesan sebagai sebuah upaya "mengelabui" pembacanya sehingga pembaca karyanya itu akhirya kecewa?

Inilah yang sempat merisaukan saya ketika beberapa waktu lalu mendapatkan itu di sebuah media cetak (koran harian) yang cukup luas pembacanya dan selama ini dianggap mampu membantu memasyarakatkan tradisi penulisan itu.

Secara tak sengaja (meski sebelumnya memang sengaja), saya membaca sebuah karya puisi yang sama dari seorang penyair yang disuguhkan pada edisi berbeda, namun telah dirubah dan coba dikoreksi oleh penyairnya sendiri. Judul puisi yang diterbitkan itu sama, tapi beberapa larik yang ada sudah bertambah dan berubah letaknya. Saya tidak tahu, apakah ini sebuah kesengajaan redakturnya sehingga puisi yang sama itu bisa dipublikasi dua kali meski pada edisi berbeda. Sementara tanda-tanda yang mengisyaratkan kesengajaan redaktur itu tidak ada.

Apakah puisi yang terkesan tak selesai itu lebih penting dari setumpuk karya-karya dari sejumlah penulis atau sastrawan lain? Apakah ini adalah sesuatu hal yang wajar di dunia penulisan sastra koran kita? Sekali lagi, saya memang tidak dapat menjawab ini secara pasti. Karena saya juga bukan krtitikus sastra yang tahu bagaimana layaknya sebuah karya puisi yang proporsional itu. Hanya saja, hal ini tentu telah membuat penulis atau sastrawan lain yang kebetulan menunggu (karena mungkin kebetulan juga mengirimkan karyanya ke media itu) kecewa. Penikmat dan peminat karya sastra juga jadi bertanya-tanya, kenapa karya itu dimuat kembali tanpa ada catatan dari redaksi? Sementara kita tahu, periode penerbitan dua atau tiga bulan, belum tentu mampu menghapus memori mereka (pembaca) tentang apa yang pernah dibaca dan dinikmatinya. Apalagi kemudian mereka ternyata sempat mengkliping karya-karya itu.

Disinilah, lagi-lagi, tanggung jawab seorang redaktur dipertanyakan kembali. Karena saya khawatir, ini adalah dampak kurangnya kejelian dan kecuaiannya, sehingga membuat media cetak bersangkutan terkesan sebagai tempat publikasi karya yang tergesa dari penyair yang coba mengelabui itu. Saya tahu, koreksi dan revisi karya memang sesuatu hal yang wajar bagi penulis atau sastrawan sendiri, tapi apakah pembaca mau menerima hal ini jika koreksi dan revisi karya yang sama itu dimuat berkali-kali? Karena pembaca sastra di sebuah media cetak (koran harian) tentu, selalu menginginkan karya-karya terbaru dan lebih bermutu.

Sekali lagi, saya memang tidak menafikan bahwa koreksi dan penyuntingan kembali pada sebuah karya sastra oleh pengarangya adalah sesuatu hal yang wajar. Namun pertanyaannya, apakah redaktur sastra di sebuah media (koran harian) dapat memberi perlakuan yang sama untuk semua penulis atau sastrawan lain yang juga mengirimkan karyanya? Mungkin, saya pikir, ada baiknya, koreksi dan penyuntingan itu dilakukan secara intens sebelum karya tersebut dipublikasikan. Atau jika memang karya yang telah direvisi itu ingin dimuat kembali, redaktur paling tidak membuat catatan kecil yang menjelaskan itu. Dan hal ini dapat dilakukan tentu, jika redaktur sastranya sendiri mau membuka diri untuk berkomunikasi dan berdiskusi, minimal memberikan konfirmasi tentang "nasib" karya yang pernah dikirimkan penulis atau sastrawan ke medianya.

Saya khawatir, ini adalah persoalan sepele yang tidak begitu perlu dibesar-besarkan, namun saya pikir ini tidaklah perlu terjadi. Karena sekali lagi saya juga paham, kalau penyair yang coba "mengelabui" itu adalah penyair pemula––untuk tidak mau menyebut muda seperti saya––yang masih mencari-cari identitas karya lewat gaya pengucapan, eksplorasi bahasa, dan lainnya. Namun begitu, garisbawahilah bahwa kerja kepenyairan seperti yang saya sebut di awal tulisan ini adalah sebuah pekerjaan membaca apapun dengan sebuah kejujuran. Jika pekerjaan ini dalam prosesnya ternyata tidak dilakukan dengan kejujuran, bagaimana kita bisa menawarkan kejujuran-kejujuran itu?

Penciptaan karya sastra, seperti juga penciptaan karya seni lainnya, kita semua tahu, memang memerlukan sebuah proses dan perenungan-perenungan yang dalam. Seperti yang pernah dikatakan Chairil Anwar ––yang saya kutip sebagian di sini––dalam sebuah prosanya; "kita mesti menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu baru mengumpulsatukan."

Penulis atau sastrawan selayaknya memang harus "memeram" beberapa waktu untuk ia sendiri akui kehadiran dan wujud sebuah karyanya. Ia juga dituntut untuk mengoreksi dan merevisi secara intens sebelum terlanjur dipublikasi dan sampai ke tangan pembaca.***

posted by Komunitas Riak Siak @ 07.56   0 comments
Sajak-sajak Sobirin Zaini [Suatu Malam Engkau Bertanya]
Sumber: Riau Mandiri, 23 September 2007

SUATU MALAM, KAU BERTANYA

Suatu malam, kau bertanya, di mana tuhan?
kutunjukkan pada sebuah langit yang gelap, ketika
matahari hanya sebuah titik dan kubentangkan
sajadah lalu kuajarkan kau sujud
di situ tuhan. Tidak, jawabmu, tuhan ada di sini
di hatiku yang linglung mencari rambu-rambu seperti
linglung burung-burung mencari
mangsanya di tengah hutan belantara
seperti ombak, kau susunkan kalimat zikir hingga
berbaris menuju sebuah muara
suatu waktu, tuhan di sana
tidak jawabku, tuhan ada di mana-mana

Dan sesungguhnya, kau percayalah
syahadah sudah lama berlidah dalam mulutmu
iman berkarat dalam jantungmu
tapi benda-benda dan waktu yang
mengarahkanmu pada surga semu itu
juga sederet nama-nama dan gelar dari ritual-ritual itu
di sebuah kampung yang luka setelah
perang mencari kekuasaan
itulah tuhan, katamu
ya, tentu, aku setuju, jika ini hanya sebuah percakapan
tapi setan menyesatkanmu karena selalu ada di kepalamu

Suatu malam, kau bertanya, di mana tuhan?
jawabku, tuhan ada di hati kita
maka sujudlah dengan sepenuh makna

2007

KABUT SUBUH

//1
Tak ada puisi seindah doa-doa yang
terucap ketika kabut subuh mulai mencair
desah suaramu di ujung sana seperti
api yang kupendam jauh di dasar mimpi
titik aku menemukan diri sendiri setelah
kehilangan hadir matahari jelang pagi
dan puisi yang sebenarnya kau ucapkan itu
doa-doaku sebelum waktu benar membunuhku

//2
Engkaukah bunga yang kusemai itu?
kupetik suatu waktu ketika takdir
menentukan begitu dan tak menentu di hatiku
atau hanya akan layu kutingggal lagi tak berakar
lalu terkubur dalam tanah yang paling dasar
kalau begitu, inikah takdir dan garis tangan itu?
aku bukan kumbang yang akan menemanimu
sepanjang mekar kelopakmu

//3
Tunggulah kematianku, kepergianku
dalam catatan langkah perjalanan ini
sepanjang ini
untuk berat kuucap selamat tinggal
selamat tinggal

2007

posted by Komunitas Riak Siak @ 07.54   0 comments
Sajak-sajak M Badri [Elegi Para Petani]
Sumber: Majalah Sagang, September 2007


ELEGI PARA PETANI


kepada matahari, juga burung-burung kucangkulkan imaji
di bukit-bukit, sungai, dan ngarai. ladang-ladang begitu sunyi
menunggui ilalang dan kemarau menyanyikan puisi
kidung musim panen di pematang seperti suara detak jam
yang membisikiku jalan pulang

sebatang kalimat, mulai bertunas dan menggeliat
gabah melepuh di gudang-gudang, setelah kapal dagang
menaburkan beras dari negara tetangga
yang menggarami sawah-sawah
melukai lambung petani di kampungnya yang kerontang

anak-anak mengairi kata-kata
di balik tumpukan jerami, rerimbun masa depan
yang menjelma sedu sedan, sebab musim hujan
menenggelamkan harapan-harapan
bangku sekolah, dinding-dinding kemelaratan

sampai roda pedati menjadi begitu menyayat
bulan basah oleh keringat, berhulu di bukit tempat petani
menabuh gendang dan kembang kemiskinan
di sawah-sawah yang ditumbuhi elegi
juga cerita tentang gubuk-gubuk renta, beratap gulma

akhirnya puisi juga yang tumbuh dan menguning
hingga musim panen tiba, musim orang-orang memetik airmata
di pematang dan ladang-ladang pembantaian
yang memenggal rencana dan impian

Bogor, 2006


BUKIT BATU

dari lembah aku melihat tubuhmu dikerumuni pepohonan
dengan akar-akarnya yang menancap di jurang kecantikan
tak ada retakan, apalagi reruntuhan yang menggelinding serupa jerawat
dan siulan burung-burung semakin menyembulkan dua biji mahkota
yang tumbuh setiap matahari terbenam. setiap makan malam
menghidangkan secangkir ciuman paling dalam
sampai menyisakan kenangan di langit dan jalan setapak
yang menuntunku ke jurang paling apak

sebuah tingkungan, tanpa tanda dan rerambu menebarkan
aroma tubuhmu: kembang kenanga dan hasrat purba
di kilometer-kilometer yang kulalui dengan puisi
paling sunyi. hingga nafas keheningan menjadi deru angin
menghantarkan sorot matamu ke lembah-lembah tempatku
mengabadikan resah. hingga musim hujan semakin menenggelamkan
wajahmu ke celah bebatuan

aku akan kembali menemukan dirimu, sendirian
ribuan tahun kemudian, setelah bereinkarnasi menjadi burung-burung
yang memagut serpihan masa lalu. aku tahu, kau pasti akan menenggelamkan paruhku di celah-celah bukit itu, sambil menagih janji
yang terlanjur terucap seperti sumpah para datu

Bogor, 2006

JALAN PANJANG

kulihat sorot matamu lebih redup dari lampu-lampu yang berjajar menuju hulu
seperti sebuah lukisan panjang. terpajang di bantaran sungai, tempat gadis-gadis
metropolis mandi sambil menanggalkan selendang di tiang-tiang listrik
berharap jaka tarub mencurinya, hingga lupa jalan pulang ke negeri mimpi
yang berjarak dua tikungan dari pos ronda. tiba-tiba aku ingin mengabadikan malam
dalam telepon genggam, dalam ruang paling dalam.

tak perlu lagi mencurigai desir angin. atau mentertawai jejak kaki
yang terlanjur membekas di perempatan jalan, tempat engkau biasa menungguku
sambil menyumpahi segelas kopi. setiap pagi, setiap aku menjanjikan
puisi dan menyeruput madu yang meleleh dari pori-pori tubuhmu
sebelum kalender dengan angka-angka ganjil itu luruh
terbawa musim dingin yang membalut separuh wajahmu

di sebuah tanah lapang, yang memutar dan memanjang
debu-debu mengemasi ingatanmu: tentang kampung halaman, musim banjir
juga aroma nostalgia sepanjang trotoar yang ditumbuhi penjual jagung bakar
sampai dering telepon menjadi sepi. seperti suara hujan di halaman pertama
kisah cinta yang tertunda. tanpa ikatan dan rencana-rencana
yang selalu memenjarakan setiap impian

jemarimu meremang, mengikuti irama tanjakan
dan sorot matamu membentur tebing-tebing penuh lukisan dari asap pembakaran
yang tersusun dengan rapi. serapi aku merahasiakan setiap pertemuan
hingga jalan panjang itu hanya menyisakan jelaga yang tersangkut
di tikungan tempat kau terakhir membakar sapu tangan

Bandung, 2006

PEREMPUAN YANG MENCINTAI LAUT
: erf

dermaga 1
bidukmu terapung di celah senja yang merona
antara percikan ombak dan dayung, mengitari semenanjung
menembus angin pesisir di pulau-pulau anyir
oleh aroma ikan, wangi kehidupan
ah geliat tubuhmu serupa duyung berenang ke tepian
menjemput cintamu yang tertambat di pelabuhan

dermaga 2
kepada karang kau bercerita tentang kehidupan
di laut yang membiru oleh ikan-ikan dan terumbu
warna jala dan kemilau nelayan menggarami petang
dan di pesisir, anak-anak itu, menyusu pada asin perahu
yang berlayar dari pulau ke pulau, sampai ke laut paling dalam
menebar masa depan dan impian

dermaga 3
jangan menangis, katamu
sebab air mata akan menenggelamkan separuh daratan
menghapus isyarat cinta yang terukir di atas pasir
bermekaran sepanjang pantai, sampai ke ujung palung
dan di lautmu, aku mencoba memahami bahasa ombak
membaca kilau mutiara di dasarnya

Bogor, 2007

RAHASIA HUTAN

aku semakin terperangkap dalam aromamu
yang berguguran di musim kemarau
terjerembab di mulut anggau, perut begu
membunuh purnama di semak-semak
yang terserak

di bukit kering aku mulai menandai
masa kecil yang hijau, serupa daun-daun
dan onak melilit tubuhku dengan hangat
sepanjang siang. sampai raungan gergaji
meninabobokan semua orang

angin tiba-tiba meniupkan luka
yang bersarang di pucuk pepohonan
menyimpan dendam dan nujuman
di rawa-rawa, gubuk-gubuk renta, hingga jalan setapak
menuju muara tempat menghanyutkan semua balak

anyir masa lalu menjelma kabut
setiap pergantian musim membakar almanak
serupa tungku tua di tanah lapang, memanggang
semua nasib dan impian. hingga membumbung tinggi
menjauh, jauh sekali...

Bogor, 2007

posted by Komunitas Riak Siak @ 07.49   0 comments
"riak siak riak kata/ mengalir ke muara karya/ imaji sedalam-dalamnya/ tak surut dilekang usia"
Logo

Tentang Riak Siak

    Komunitas Riak Siak adalah komunitas sastra yang dibangun oleh segelintir penulis muda Pekanbaru yang sedang gelisah berkarya. Komunitas yang dideklarasikan tanggal 4 Agustus 2007 dini hari, di bawah jembatan Leighton, tepi sungai Siak, ini memiliki kegiatan diskusi sastra, pembelajaran penulisan kreatif dan penerbitan. Komunitas ini juga bersifat independen dan terbuka bagi siapa saja yang ingin berpartisipasi atau merenangi kedalamannya, seperti sungai yang bebas direnangi dan dilayari. Deklarator Komunitas Riak Siak: 1. M Badri (Penyair, Cerpenis) 2. Sobirin Zaini (Penyair, Cerpenis) 3. Syaiful Bahri (Penyair) 4. Dien Zhurindah (Penyair)
Menu
Pelabuhan
Dermaga Deklarator

Pesan Tamu

Detak Siak
Penunggu Sungai
*****

template design by isnaini.com

BLOGGER

content design by negeribadri