Kamis, 06 September 2007
Sajak-sajak Sobirin Zaini [Sengak Tanahmu]

Sumber: Majalah Sagang, September 2007

Sengak Tanahmu [1]

Seperempat malam, sebelum kusadapkan rindu pada sebuah mimpi buruk tentang angin masa lalu, bau kelambu, karat tempayan dan remah bunga senduduk, telah kugenapkan jarak itu pada bulir-bulir pahit yang tergenang di matamu. Aku bergumam sepanjang malam karena aku durhaka, tak pernah menyisipkan kabar lewat doa-doa yang tak jelas ujungnya. Aku tahu, ini sebuah hikayat tentang biduk yang terbakar, tentang tenggelamnya perahu kertas yang kurangkai di lembah itu. Ketika kulihat bulan masih sabit, dan langit masih menggumpalkan awan dari sudut ke sudut yang lain. Tapi, bukankah sengak tanahmu itu juga yang memaksaku berlutut, lalu mengabutkan mataku dengan bulir-bulir batu waktu dari ujung lambungku? Cerita ini takkan pernah selesai. Jika hujan tetap mengkabarkan jua tentang harapan dan luka di jantungmu. Mungkin lebih baik aku pergi, dari tanah yang tak pernah kita petakan sebelumnya ini. Karena garis tangan begitu kentara, lukiskan kecemasan dan keruh arah perjalanan itu sendiri. Aku memang selalu tak tahu pasti!

Pekanbaru, 2007

Sengak Tanahmu [2]

Bermula dari sebuah percakapan. Aku berdiam dalam dendam dan meluruskan kaki di gubuk ini. Setakat begitu, namun tetaplah hamparan tanah dan rambut putihmu jua yang membayang. Ini renyah waktu dan gemulai dedaun rindu yang menggodamu. Ikatlah, pada pergelangan tangan tepat di detak nadimu, kau kuharapkan kembali dengan seribu perahu dan peta yang jelas, bukan barisan cerita dari sejumlah sobekan kertas. Di lain waktu, aku tahu, kau memang menunggu. Tapi bukankah waktu tetap sembilu yang kian menusukku?

Pekanbaru, 2007

Sengak Tanahmu [3]

Dan dengarlah, dengar dengan seluruh kemampuanmu mendengar; gemuruh sesayup angin yang lepas dari napasku. Buih-buih masa lalu membeku jadi batu. Dan batu meremukkan jantungku! Simaklah, simak dengan seluruh kemampuanmu menyimak, bahwa sebaris saja cerita dari malamku yang hampa, adalah butir keringatku mengapus catatan dosa-dosa. Dan maafkanlah, jika aku terpaksa jua meneriakkan satu saja keputus-asaan itu: aku kalah! Aku kalah!*

Pekanbaru, 2007

*Sepenggal sajak Iyut Fitra

Sengak Tanahmu [4]

Tumpang tindih dan berkait-kelindanlah segalanya. Ada luka, hujan tak terduga, tawa hampa. Di sini, di tanah para boneka, aku kian memilih diam. Atau bicara dengan bahasa kelelawar, burung lelayang, ilalang tua. Lalu berjalan telusuri malam dengan arah yang tak pernah terbaca. Tak pernah. Karena sekali lagi, menundukkan pedang dalam sebuah peperangan waktu, aku butuh serdadu, atau hulubalang yang tangguh memegang gagang kerismu. Tapi, semua hanya cerita. Cerita tentang Dedap atau Terubuk setelah kita habis membakar tempurung dan anyaman tikar yang belum usai. Di tanah yang selalu terburai dengan pantainya yang tak lagi landai.

Pekanbaru, 2007

posted by Komunitas Riak Siak @ 02.26  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
"riak siak riak kata/ mengalir ke muara karya/ imaji sedalam-dalamnya/ tak surut dilekang usia"
Logo

Tentang Riak Siak

    Komunitas Riak Siak adalah komunitas sastra yang dibangun oleh segelintir penulis muda Pekanbaru yang sedang gelisah berkarya. Komunitas yang dideklarasikan tanggal 4 Agustus 2007 dini hari, di bawah jembatan Leighton, tepi sungai Siak, ini memiliki kegiatan diskusi sastra, pembelajaran penulisan kreatif dan penerbitan. Komunitas ini juga bersifat independen dan terbuka bagi siapa saja yang ingin berpartisipasi atau merenangi kedalamannya, seperti sungai yang bebas direnangi dan dilayari. Deklarator Komunitas Riak Siak: 1. M Badri (Penyair, Cerpenis) 2. Sobirin Zaini (Penyair, Cerpenis) 3. Syaiful Bahri (Penyair) 4. Dien Zhurindah (Penyair)
Menu
Pelabuhan
Dermaga Deklarator

Pesan Tamu

Detak Siak
Penunggu Sungai
*****

template design by isnaini.com

BLOGGER

content design by negeribadri